Kamis, 22 Maret 2012

Reformasi Mahasiswa Masa Kini 'Miris'


Mahasiswa merupakan salah satu penggerak bangsa paling utama. Sebuah rezim dapat tumbang oleh mahasiswa. Mahasiswa disegani sebagai seorang intelektual, yang diyakini mampu menyuarakan aspirasi rakyat yang sesungguhnya. Tentu bangsa kita belum lupa bagaimana ueforia Reformasi pada tahun 1998, membuat kekuatan mahasiswa begitu kuat hingga dapat meruntuhkan rezim Orde Baru. Karena semangat yang membara dan tak mudah padam. Begitu menggebu-gebu, begitu berapi-api.

Demi sebuah kebebasan, demi sebuah hak.

Mereka meminta hak untuk bebas bersuara, berinspirasi tanpa takut dibayangi kediktatoran pemimpin mereka.

Akhirnya seluruh bangsa dapat memilih pemimpinnya menurut hati nurani. Bebas mengapresiasikan diri dalam berbagai hal. Benar-benar ingin menuju demokrasi yang sesungguhnya.

Tapi apa yang kita lihat sekarang?




Alih-alih menyuarakan suara rakyat, menghujat para elit politik (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif) yang dianggap sakit, mereka berdemo, turun ke jalan, membakar segala yang ada, memblokir jalan umum. Memblokir jalan artinya sama dengan memblokir akses bagi penggunanya. Sedang para pengguna terdiri dari berbagai kalangan. Tukang angkot, ojeg, dan mereka yang terdapat dalam angkutan umum tsb, serta profesi lainnya. Dengan kata lain, para mahasiswa itu telah memblokir alias menghambat akivitas para pekerja tsb yang juga turut serta berperan menggerakkan roda perekonomian.


Mereka menghujat koruptor yang mengdzalimi uang rakyat, lalu apa yang dilakukan mahasiswa? Anarkis. Mereka membuat kericuhan, membakar mobil ‘berplat merah’, menghancurkan gedung dan segala fasilitas pemerintahan. Bahkan yang lebih parah menghancurkan fasilitas umum yang diperuntukkan bagi masyarakat. Bukankah mobil ‘berplat merah’ itu merupakan inventaris pemerintah yang dibeli dengan uang rakyat yang salah satunya melalui pajak yang dibayar oleh rakyat. Dalam sudut pandang ini, siapa yang menghambur-hamburkan???




Mengapa harus anarkis?

Berdemo tentu saja boleh. Namun ada batasannya. Kita harus memiliki rem yang berfungsi, sejauh mana demo itu bermanfaat atau tidak, atau justru merugikan.

Apa sekarang bangsa Indonesia bukan bangsa yang ramah lagi? Dimana keramahan yang membuat Indonesia terkenal di mata dunia? Pemerintah kita sakit. Ternyata bangsa kita juga tengah sakit. Lalu siapa yang dapat menyembuhkannya?

Dulu Sumpah Pemuda yang dipelopori para pemuda menjadi cikal bakal awal kemerdekaan Indonesia. Bukanlah suatu hal yang tak mungkin bila saat ini para pemuda (khususnya mahasiswa yang dianggap sebagai kaum intelektual) menjadi penyembuh sakitnya bangsa ini.

Seperti kata Prof. Dr. Gumilar Rusliwa Somantri, dalam buku Soe Hok Gie Sekali Lagi, “intelektualitas adalah pengabdian tak bersyarat kepada bangsa dan negara”. Dengan mengedepankan intelektualitasnya, melalui ruang-ruang diskusi mahasiswa dapat mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap kontra terhadap rakyat. Mahasiswa dapat memberikan kontribusi dengan mengawal/mengawasi kebijakan-kebijakan sebagai pihak yang independen dengan daya nalar mereka.

Kita tidak sedang hidup di negara Rimba. “Otak Harus Lebih Dikedepankan dari pada Otot!”. Mahasiswa harus bisa menjadi tumpuan masyarakat, bukannya membiarkan diri ikut-ikutan sakit seperti yang lain. Jangan sampai semangat muda mahasiswa ditumpangi kepentingan orang-orang yang tak ingin bangsa ini maju.

Semangat mahasiswa dari kaki gunung Sawal untuk membangun negeri ini!!!